Senin, 07 Mei 2012

TRANSFORMASI MORAL EKONOMI PEASENT di DAERAH REMBANG

Masyarakat petani umumnya tinggal di pedesaan yang erat kaitannya dengan kemiskinan. Istilah petani sendiri dapat dibedakan antara peasant dan farmer. Peasant lebih mengacu pada subsisten yang tidak banyak terlibat dalam ekonomi pasar, dan secara sosial merupakan satuan komunitas yang relative homogen dan tertutup, terdapat dalam sebuah negara berkembang. Sedangkan farmer lebih mengacu pada petani yang sepenuhnya terlibat dalam ekonomi pasar, mengikuti kompetensi untuk mendapatkan sarana produksi secara terbuka, dan berusaha mencipakan alfternatif lain untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, terdapat dalam negara yang sudah maju. Mayoritas matapencaharian masyarakat di daerah Rembang adalah petani yang lebih cenderung pada petani peasant. Menurut Scott, kehidupan petani merupakan masyarakat yang harmoni dan stabil. Petani memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya dan lebih mengutamakan selamat. Petani di daerah Rembang kebanyakan tidak berorientasi pada pasar, namun didasarkan atas etika subsistensi dan resiprositas. Mereka tidak menjual hasil panennya, tetapi hasil panen tersebut disimpan atau ditimbun untuk kebutuhan hidup sehari – hari. Mereka tidak memperhitungkan untung dan rugi tapi yang lebih di prioritaskan adalah kelangsungan hidupnya. Apabila petani peasant megalami suatu keadaan yang menurut mereka dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadaikan harta benda yang dimilikinya, seperti ternak, sekian petak sawah yang mereka punya. Untuk mencukupi kebutuhan para petani biasanya menggunakan sistem tumpang sari, tanaman yang ditanam misalnya menanam jagung sebelum tanaman padi dipanen. Seiring berkembangnya zaman, para peasant sebenarnya ingin mendapatkan akses ke pasar apabila ada kesempatan. Bahkan sekarang sebagian kecil peasant di daerah Rembang mulai mengacu pada komersialisasi dimana mereka sekarang tidak hanya mencukupi kebutuhan saja namun sudah mulai memaksimalkan keuntungan.¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬, sifatnya sudah mulai seperti pedagang. Teori james scott masih bisa digunakan pada petani peasant di daerah Rembang. Namun tidak menutup kemungkinan suatu petani untuk mengalami transformasi atau pergeseran moral ekonomi. Sedangkan resiprositas muncul ketika sebagian dari anggota masyarakat menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat lain. Yang lebih ditekankan adalah hubungan timbal balik antara keduanya yang menguntungkan. Dapat pula dikatakan sebagai kewajiban untuk membalas budi kepada seseorang. Hal ini sebanding dengan apa yang terjadi di daerah Rembang, dimana suatu prinsip moral balas budi dijadikan motif saling menguntungkan antara penggarap tanah dan tuan tanah. Ketika penggarap tanah mengadakan syukuran otomatis tuan tanah mempunyai kewajiban moral untuk memberi uang atau orang jawa bilang ‘sumbangan’ dapat berupa uang maupun bahan – bahan pokok. Bahkan moral balas budi dapat menaikkan status sosial seseorang, ketika si tuan tanah ingin mencalonkan diri menjadi kepala desa maka si penggarap tanah mempunyai kewajiban moral untuk membalas budi si tuan tanah tersebut dengan mendukungnya untuk menunjukkan loyalitasnya. Menurut James Scott, dari sudut pandang moral ekonomi petani, subsistensi merupakan hak atau tuntutan moral, bahwa petani merupakan kaum miskin mempunyai hak sosial atas subsistensi. Untuk itu setiap tuntutan terhadap petani pada kaum elite desa dan negara tidaklah adil bila melanggar subsistensi mereka. Transformasi tanah yang mulai dijual telah memunculkan efek kontrol terhadap tanah terlepas dari tanggung jawab desa. Secara tidak langsung petani akan kehilangan hak – hak kebebasan petani, nilai – nilai yang dihasilkan diukur berdasarkan naik turunnya harga pasar. Tidak menutup kemungkinan terjadi suatu pengeksploitasian kaum elite desa kepada petani karena mereka mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi sehingga mereka membayarnya dengan rendah. Bahkan negara juga melakukan pengeksploitasian terhadap petani dengan cara menghitung dan mensurvei para petani dan tanah yang bertujuan sebagai penarikan pajak. Faktanya petani sering dirugikan karena saat musim tidak baik pemerintah menarik pajak berdasarkan penarikan pajak tetap. James Scott meletakkan dasar stratifikasi social masyarakat petani atas tingkat keamanan subsistensi mereka, bukan pada penghasilan mereka. Lapisan kaum petani dibagi Scott menjadi tiga kelas. Yang pertama pemilik lahan kecil memiliki subsistensi yang lebih terjamin. Meskipun hanya memiliki sedikit lahan mereka lebih terjamin karena masih bisa mengandalkan tanah tersebut untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang kedua yaitu lapisan petani penyewa ( klien ) yang masih mempunyai tuan tanah ( patron ) sebagai pelindung mereka. Tuan tanah biasanya menyewakan sawahnya karena dia tidak mampu mengerjakan sawahnya, sehingga penyewa berhak mendapat perlindungan dari tuan tanah. Yang ketiga adalah lapisan buruh tani yang tidak mendapatkan perlindungan dari siapun, posisi buruh tani sangat rawan sekali terhadap goncangan krisis subsistensi. Hal ini disebabkan buruh tani tidak memiliki lahan pertanian dan tidak memiliki patron sebagai pelindung. Berdasarkan konsep pembagian kelas diatas, petani di daerah Rembang yang mengalami sedikit pergeseran moral ekonomi. Sebuah kasus dimana sebagian petani yang menempatkan hubungan antara patron dan klien yang terjadi bukan atas dasar melindungi yang lemah tetapi merupakan suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya yang murah. Terlihat ketika mereka diberi kesempatan untuk mencari butir – butir padi yang tersisa istilah jawanya ‘ ngasak ‘ agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Namun adapula patron yang mempunyai rasa belas kasihan sehingga klien tersebut diberi padi dalam topi atau caping yang mereka gunakan. Dari lapisan social tersebut Scott berpendapat bahwa sistem bagi hasil lebih disukai petani dibandingkan dengan sistem sewa tanah. Scott menganggap bahwa sistem bagi hasil sama rata pada masyarakat petani disebabkan karena pemilik tanah tidak rela petani menjual panennya dipasar. Sistem bagi hasil dianggap lebih menguntungkan karena jumlah panen dibagi menjadi dua dan musim juga tidak berpengaruh. Sedangkan system sewa tanah dianggap beresiko karena keadaan hasil panen baik atau buruk tidak berpengaruh dalam pembayaran sewa. Yang terjadi pada daerah Rembang, Sebuah kelompok petani kenceng dan petani unggul, mereka memiliki tanah yang lebih luas dan menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan uang atau sistem bagi hasil. Yang sering dikenal dalam sistem bagi hasil diantaranya maro dimana orang mengerjakan atau menggarap separuh tanahnya kemudian hasil dibagi bardua, mertelu itu mengerjakan sepertiga tanah dan membagi hasil menjadi sepertiga bagian, mrapat system bagi hasil yang membagi hasil menjadi seperempat bagian dengan mengerjakan seperempat tanah, dan sistem tegalan ( marolima ) Pemilik lahan meneriman dua perlima, sedangkan penggarap yang menanggung ongkosnya tiga per lima. Sistem bagi hasil memberikan kerugian yang tidak hanya berdampak pada landasan eksistensi mayoritas penduduk yang sangat tidak mencukupi, namun juga suatu system yang mempertahankan kemiskinan. Dalam kehidupan sekarang sistem yang lebih sering digunakan petani adalah sewa tanah, khususnya petani di daerah Rembang. Petani lebih suka dengan sewa tanah karena sistem ini tidak terlalu ribet dan cukup sederhana, dibandingkan sistem bagi hasil yang lebih sulit dalam pembagiannya selain itu juga merugikan. Pertumbuhan negara kolonial dan komersialisasi pertanian menyebabkan petani masuk dalam ekonomi dunia, sehingga menjadi dilema perubahan ekonomi baru yang mengancam subsistensi kaum petani. Hal ini disebabkan oleh lima cara diantaranya : a. Ketidakstabilan yang bersumber pada pasar Masyarakat petani tidak hanya berlingkup pada pasar lokal namun sudah pasar dunia. Naik turunnya harga terlepas dari naik turunnya harga, menyebabkan hasila panen yang kecil menghasilkan harga per unit juga kecil, begitu pula dengan hasil panen yang besar. b. Perlindungan desa yang semakin lemah Pemberian perlindungan kepada kelompok kerabat dan nilai desa mengalami perubahan, karena perubahan struktural yang berupa berkurangnya sumber daya secara komunal. Hokum positif kolonial digunakan sebagai pengganti tradisi atau hukum yang telah turun temurun. c. Hilangnya sumber – sumber daya subsistensi sekunder Tanah yang dulunya milik umum ( komunal ) menjadi sesuatu yang komersial dan seseorang yang memanfaatkannya dikenai sebuah pajak. Selain itu, kerajinan yang dibuat dalam waktu luang sudah tidak dapat membantu subsistensi petani karena harganya murah yang disebabkan oleh masuknya produk komersial. d. Buruknya hubungan – hubungan kelas agraris Perubahan sikap tuan tanah yang bukan lagi sebagai pelindung saat masa sulit tapi menjadi tukang kutip sewa tetap, bukan hanya dilakukan pada masa baik tetapi pada masa buruk juga. e. Negara kolonial yang semakin ekstensif dan intensif dalam memungut pajak Penarikan pajak mulai diperluas pada aktivitas yang berkaitn dengan subsistensi seperti pajak perahu, garam dan lain – lain. Petani jua tidak dapat menolak untuk membayar pajak. Yang berperan dalam penarikan pajak ini adalah negara. Penarikan pajak yang dipungut oleh negara dianggap terlalu memberatkan petani, sehingga petani tidak dapat mempertahankan lagi subsistensinya. Proses eksploitasi terhadap petani tersebut melahirkan suatu resistensi atau perlawanan. Sebenarnya petani tidak hanya sebagai masyarakat yang lemah dan dan pasrah saja, pada dasarnya mereka juga mempunyai pandangan kedepan untuk mendapatkan kehidupan yang selayaknya. Petani mereka melakukan suatu resistensi atau perlawanan untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan petani merupakan perjaungan yang biasa – biasa saja namun hal ini dilakukan secara terus menerus. Misalnya pemberian nama ejekan, ngutil, berbohong sabotase bahkan karena terhimpit oleh kondisi ekonomi akan melakukanhal nekat seperti bunuh diri. Berdasarkan kondisi peasant di daerah Rembang, petani juga mampu melakukan perbaikan terhadap nilai-nilai tradisional. Para peasant juga mulai menstransformasi atau menggantikan elemen-elemen lokal dan tatanan kultural, untuk mendapat kesempatan-kesempatan baru terhadap penawaran kapitalisme dan pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar