Senin, 07 Mei 2012

RUWATAN

RUWATAN (AKULTURASI TRADISI JAWA-ISLAM) Desa Japerejo merupakan salah satu desa yang berada di Kabupaten Rembang, Jawa tengah. Desa yang sangat kecil. Semua penduduknya beragama Islam, namun dengan berbagai versi, ada Islam NU, Islam Muhammadiyah dan lain sebagainya. Walaupun berbagai versi agama islam, hal ini tidak memengaruhi integrasi yang ada dalam masyarakat desa Japerejo, karena toleransi yang sangat kuat, sehingga perbedaan keyakinan tidak dipermasalahkan. Masyarakat desa Japerejo termasuk masyarakat yang masih berpegang teguh dengan kebudayaan. Berbagai budaya yang ada di desa Japerejo sangatlah beragam. Hal ini yang menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakatnya di desa Japerejo yang merupakan tempat dimana saya di besarkan selama ini. Salah satu bentuk akulturasinya yaitu ruwatan. Ruwatan ini sangat erat hubungannya dengan budaya jawa, yang merupakan salah satu dari berbagai tradisi kejawen yang masih dilestarikan hingga saat ini. Namun uniknya, tradisi ini hingga sekarang masih menimbulkan permasalahan dan tidak jarang menimbulkan pertentangan antara kalangan Islam dengan masyarakat jawa pada umumnya. Dari kalangan Islam sendiri meyakini tradisi ini terkesan musyrik karena terdapat beberapa amalan yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam, sehingga dengan mudah memvonis bahwa tradisi ini adalah suatu yang baru dan diada-adakan yang tidak boleh dilakukan oleh umat Islam. Atas permasalahan yang timbul tersebut, kita tidak boleh mencari kelemahan tanpa mencari segi positif, begitu pula sebaliknya. Walaupun dikalangan umat Islam sangat menentang tradisi ini, tetapi sangat disayangkan dan terkesan agama Islam kurang memiliki toleransi apabila langsung menyimpulkan tradisi ini penuh kesyirikan tanpa mengetahui terlebih dahulu latar belakang, sejarah munculnya serta tujuan historis dari tradisi tersebut. Secara umum, ruwat diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan kepada keadaan yang lebih baik dengan melakukan ritual pembuang kesialan. Membuang kesialan bisa berupa kesialan diri, lingkungan, atau masyarakat. Ritualnya bisa dengan mengadakan acara pagelaran pewayangan atau proses ritual untuk membuka aura diri. Ruwatan untuk lingkungan, yang sering disebut sebagai mageri, proses ritualnya antara lain seperti memberikan daya magis pada lingkungan yang terdeteksi mengandung pengaruh gaib yang bersifat menahan, menolak atau memindahkan aura-aura gaib tersebut. Hal ini biasa dilakukan dengan menanam semacam tumbal seperti kepala kerbau atau kepala kambing. Proses ritual yang lain ialah memberikan pagar gaib yang bertujuan agar tidak dimasuki oleh orang yang berniat jahat, dan memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir dan mengurung makhluk halus. Pelaksanaan ruwatan biasanya diselenggarakan secara besar-besaran dengan mengadakan pagelaran wayang kulit. Orang yang meruwat pun harus seorang dalang khusus yang mempunyai kemampuan dalam bidang peruwatan. Di desa saya sering melaksanakan ruwetan ketika ada anak yang di sebut anak sukerta. Anak ini yang akan menjalani proses ruwat, setelah selesai pewayangan akan dilakukan siraman dengan air yang sudah dicampur dengan bunga tujuh rupa dan diiringi dengan pemotongan rambut untuk dihanyutkan di sungai. Kemudian dalang tersebut memberinya semacam rajah. Rajah ini ditulis dalam huruf jawa melalui tirakatan khusus. Bagi orang tua yang kurang mampu, biasanya hanya mengundang dalangnya saja untuk meruwat anaknya tanpa mengadakan acara pewayangan. Pelaksanaan ruwat menurut tata cara Islam yaitu dengan menghilangkan ritual-ritual yang mengundang kemusyrikan, namun tidak merubah maknanya, yakni memohon keselamatan kepada Allah melalui pendekatan budaya seperti hal-hal yang mengandung unsur-unsur dan simbol-simbol dasar (pagelaran wayang kulit, siraman, potong rambut). Dengan demikian dapat diketahui kehebatan dakwah ulama-ulama terdahulu (wali songo tentunya) yang berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat tanpa menghapus ajaran Islam yang pokok, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat yang justru lama-kelamaan akan sadar dengan sendirinya atas kepercayaannya yang selama ini mereka peluk. Dalam satu sisi mereka menyebarkan agama Islam, namun di sisi lain mereka tidak berkeinginan untuk menolak apa yang telah menjadi tradisi mereka. Dengan itu, mereka melakukan dakwah dengan cara yang santun melalui beberapa inovasi dan konstruksivasi budaya nenek moyang yang sarat kesyirikan dan kejahiliyyahan yang kemudian diarahkan pada budaya yang tidak bertentangan dengan Islam. Salah satu contoh yang dilakukan dalam ruwatan ini adalah pengambilan air dari sumur tertentu yang sudah diberi larutan doa yang biasa dipakai oleh seorang kyai untuk siraman. Kemudian memotong rambut dan labuhan yang hanya sebatas simbol saja sebagai sarana penyucian. Lalu pembuatan sesajen, yang ditaruh di punden atau tempat-tempat yang dianggap keramat untuk ditujukan kepada roh-roh halus, kemudian diubah menjadi sedekah. Jadi, walaupun namanya ruwat, tapi unsur-unsur di dalamnya telah terislamkan. Meski masyarakat desa japerejo pada umumnya sudah paham ruwatan merupakan tradisi yang sarat dengan tahayyul. Apalagi di zaman modern ini, pola pikir masyarakat yang sudah sangat berkembang dan maju menganggapnya acara semacam ini hanyalah dongeng belaka, namun mereka masih sangat sulit meninggalkan tradisi yang unik ini karena sudah melekat erat dengan kebiasaan mereka selaku orang Jawa, khususnya di daerah Rembang, desa Japerejo. Termasuk pagelaran wayang kulit selaku unsur penting dalam pelaksanaan ruwatan, yang oleh Sunan Kalijaga diubah inti ceritanya yang sarat dengan kebiasaan lama dan tahayyul untuk diganti dengan isi cerita yang lebih islami. Cerita tentang kepahlawanan dan karakter seorang tokoh, dewa-dewa dan berbagai cerita fiktif lainnya tidak serta-merta langsung dihilangkan. Misalnya pagelaran wayang kulit yang bercerita tentang Ramayana dan Mahabarata yang merupakan kisah yang lahir dari ajaran agama Hindu, kemudian di sela-sela cerita disusupi ajaran-ajaran tasawuf dan syari’at yang sesungguhnya termasuk agenda dakwah. Wayang bukan hanya bernilai budaya semata, namun juga berfungsi sebagai alat komunikasi religius dan sarana dakwah Islam. Wayang juga bukan tontonan dan hiburan semata, namun juga merupakan tuntunan yang harus diajarkan kepada penonton dalam pengarahan masyarakat yang terkesan kaku menuju kepada kehidupan yang religius. Pagelaran wayang kulit juga dapat dijadikan sarana yang efektif untuk memasukkan ajaran-ajaran agama Islam. Maka dari itu, sudah menjadi tanggungan kita semuanyalah untuk meluruskan hal tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar