Selasa, 08 Mei 2012

PENGARUH BAHASA ASING TERHADAP BAHASA INDONESIA

Zaman sekarang, hanya bisa menggunakan satu bahasa saja sangatlah sulit untuk bisa masuk dalam global competition. Apalagi posisi negara kita yaitu sebagai negara berkembang yang masih memerlukan bantuan dan kontribusi dari negara lain khususnya negara maju. Dengan apakah agar kontribusi itu bisa diterima ??? apalagi kalau bukan BAHASA . Setiap individu setidaknya bisa menggunakan bahasa asing atau bahasa internasional. Kita tahu bahwa bahasa Internasional adalah Bahasa Inggris. Untuk bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang dari negara lain, orang tersebut pasti menggunakan bahasa inggris, tidak terkecuali orang Indonesia. Bahasa inggris, dimana merupakan bahasa asing di negara Indonesia, mempunyai peranan besar bagi Indonesia itu sendiri. Pengaruh yang diberi pun beraneka ragam. Ada yang memberikan pengaruh positif dan tidak jarang juga ada yang meberikan pengaruh negatif. Dengan keberadaan bahsasa inggris ( bahasa asing ) sebagai bahasa internasional, pendidikan Indonesia mulai dari taman bermain sampai dengan Universitas memiliki kurikulum dan pelajaran tentang bahasa inggris. Hal ini dilakukan agar sumber daya manusia Indonesia dapat ikut andil dalam globalisasi dunia. Pengaruh negatif dari bahasa asing itu sendiri juga ada. Pengaruh negatif dari bahasa asing tersebut sudah terlihat. seperti pada perkembangan anak. cara pemakaian bahasa belakang ini yang sedang populer di semua kalangan adalah penggunaan bahasa campur aduk. Bahasa Indonesia dikombinasikan dengan bahasa asing. Banyak anak – anak sekarang yang merasa lebih percaya diri dan gaul jika menggunakan bahasa campur aduk tersebut. Hal ini jelas mengurangi kekaedahan dan keabsahan akan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan itu sendiri.

Senin, 07 Mei 2012

RUWATAN

RUWATAN (AKULTURASI TRADISI JAWA-ISLAM) Desa Japerejo merupakan salah satu desa yang berada di Kabupaten Rembang, Jawa tengah. Desa yang sangat kecil. Semua penduduknya beragama Islam, namun dengan berbagai versi, ada Islam NU, Islam Muhammadiyah dan lain sebagainya. Walaupun berbagai versi agama islam, hal ini tidak memengaruhi integrasi yang ada dalam masyarakat desa Japerejo, karena toleransi yang sangat kuat, sehingga perbedaan keyakinan tidak dipermasalahkan. Masyarakat desa Japerejo termasuk masyarakat yang masih berpegang teguh dengan kebudayaan. Berbagai budaya yang ada di desa Japerejo sangatlah beragam. Hal ini yang menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakatnya di desa Japerejo yang merupakan tempat dimana saya di besarkan selama ini. Salah satu bentuk akulturasinya yaitu ruwatan. Ruwatan ini sangat erat hubungannya dengan budaya jawa, yang merupakan salah satu dari berbagai tradisi kejawen yang masih dilestarikan hingga saat ini. Namun uniknya, tradisi ini hingga sekarang masih menimbulkan permasalahan dan tidak jarang menimbulkan pertentangan antara kalangan Islam dengan masyarakat jawa pada umumnya. Dari kalangan Islam sendiri meyakini tradisi ini terkesan musyrik karena terdapat beberapa amalan yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam, sehingga dengan mudah memvonis bahwa tradisi ini adalah suatu yang baru dan diada-adakan yang tidak boleh dilakukan oleh umat Islam. Atas permasalahan yang timbul tersebut, kita tidak boleh mencari kelemahan tanpa mencari segi positif, begitu pula sebaliknya. Walaupun dikalangan umat Islam sangat menentang tradisi ini, tetapi sangat disayangkan dan terkesan agama Islam kurang memiliki toleransi apabila langsung menyimpulkan tradisi ini penuh kesyirikan tanpa mengetahui terlebih dahulu latar belakang, sejarah munculnya serta tujuan historis dari tradisi tersebut. Secara umum, ruwat diartikan sebagai usaha untuk mengembalikan kepada keadaan yang lebih baik dengan melakukan ritual pembuang kesialan. Membuang kesialan bisa berupa kesialan diri, lingkungan, atau masyarakat. Ritualnya bisa dengan mengadakan acara pagelaran pewayangan atau proses ritual untuk membuka aura diri. Ruwatan untuk lingkungan, yang sering disebut sebagai mageri, proses ritualnya antara lain seperti memberikan daya magis pada lingkungan yang terdeteksi mengandung pengaruh gaib yang bersifat menahan, menolak atau memindahkan aura-aura gaib tersebut. Hal ini biasa dilakukan dengan menanam semacam tumbal seperti kepala kerbau atau kepala kambing. Proses ritual yang lain ialah memberikan pagar gaib yang bertujuan agar tidak dimasuki oleh orang yang berniat jahat, dan memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir dan mengurung makhluk halus. Pelaksanaan ruwatan biasanya diselenggarakan secara besar-besaran dengan mengadakan pagelaran wayang kulit. Orang yang meruwat pun harus seorang dalang khusus yang mempunyai kemampuan dalam bidang peruwatan. Di desa saya sering melaksanakan ruwetan ketika ada anak yang di sebut anak sukerta. Anak ini yang akan menjalani proses ruwat, setelah selesai pewayangan akan dilakukan siraman dengan air yang sudah dicampur dengan bunga tujuh rupa dan diiringi dengan pemotongan rambut untuk dihanyutkan di sungai. Kemudian dalang tersebut memberinya semacam rajah. Rajah ini ditulis dalam huruf jawa melalui tirakatan khusus. Bagi orang tua yang kurang mampu, biasanya hanya mengundang dalangnya saja untuk meruwat anaknya tanpa mengadakan acara pewayangan. Pelaksanaan ruwat menurut tata cara Islam yaitu dengan menghilangkan ritual-ritual yang mengundang kemusyrikan, namun tidak merubah maknanya, yakni memohon keselamatan kepada Allah melalui pendekatan budaya seperti hal-hal yang mengandung unsur-unsur dan simbol-simbol dasar (pagelaran wayang kulit, siraman, potong rambut). Dengan demikian dapat diketahui kehebatan dakwah ulama-ulama terdahulu (wali songo tentunya) yang berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat tanpa menghapus ajaran Islam yang pokok, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat yang justru lama-kelamaan akan sadar dengan sendirinya atas kepercayaannya yang selama ini mereka peluk. Dalam satu sisi mereka menyebarkan agama Islam, namun di sisi lain mereka tidak berkeinginan untuk menolak apa yang telah menjadi tradisi mereka. Dengan itu, mereka melakukan dakwah dengan cara yang santun melalui beberapa inovasi dan konstruksivasi budaya nenek moyang yang sarat kesyirikan dan kejahiliyyahan yang kemudian diarahkan pada budaya yang tidak bertentangan dengan Islam. Salah satu contoh yang dilakukan dalam ruwatan ini adalah pengambilan air dari sumur tertentu yang sudah diberi larutan doa yang biasa dipakai oleh seorang kyai untuk siraman. Kemudian memotong rambut dan labuhan yang hanya sebatas simbol saja sebagai sarana penyucian. Lalu pembuatan sesajen, yang ditaruh di punden atau tempat-tempat yang dianggap keramat untuk ditujukan kepada roh-roh halus, kemudian diubah menjadi sedekah. Jadi, walaupun namanya ruwat, tapi unsur-unsur di dalamnya telah terislamkan. Meski masyarakat desa japerejo pada umumnya sudah paham ruwatan merupakan tradisi yang sarat dengan tahayyul. Apalagi di zaman modern ini, pola pikir masyarakat yang sudah sangat berkembang dan maju menganggapnya acara semacam ini hanyalah dongeng belaka, namun mereka masih sangat sulit meninggalkan tradisi yang unik ini karena sudah melekat erat dengan kebiasaan mereka selaku orang Jawa, khususnya di daerah Rembang, desa Japerejo. Termasuk pagelaran wayang kulit selaku unsur penting dalam pelaksanaan ruwatan, yang oleh Sunan Kalijaga diubah inti ceritanya yang sarat dengan kebiasaan lama dan tahayyul untuk diganti dengan isi cerita yang lebih islami. Cerita tentang kepahlawanan dan karakter seorang tokoh, dewa-dewa dan berbagai cerita fiktif lainnya tidak serta-merta langsung dihilangkan. Misalnya pagelaran wayang kulit yang bercerita tentang Ramayana dan Mahabarata yang merupakan kisah yang lahir dari ajaran agama Hindu, kemudian di sela-sela cerita disusupi ajaran-ajaran tasawuf dan syari’at yang sesungguhnya termasuk agenda dakwah. Wayang bukan hanya bernilai budaya semata, namun juga berfungsi sebagai alat komunikasi religius dan sarana dakwah Islam. Wayang juga bukan tontonan dan hiburan semata, namun juga merupakan tuntunan yang harus diajarkan kepada penonton dalam pengarahan masyarakat yang terkesan kaku menuju kepada kehidupan yang religius. Pagelaran wayang kulit juga dapat dijadikan sarana yang efektif untuk memasukkan ajaran-ajaran agama Islam. Maka dari itu, sudah menjadi tanggungan kita semuanyalah untuk meluruskan hal tersebut.

TRANSFORMASI MORAL EKONOMI PEASENT di DAERAH REMBANG

Masyarakat petani umumnya tinggal di pedesaan yang erat kaitannya dengan kemiskinan. Istilah petani sendiri dapat dibedakan antara peasant dan farmer. Peasant lebih mengacu pada subsisten yang tidak banyak terlibat dalam ekonomi pasar, dan secara sosial merupakan satuan komunitas yang relative homogen dan tertutup, terdapat dalam sebuah negara berkembang. Sedangkan farmer lebih mengacu pada petani yang sepenuhnya terlibat dalam ekonomi pasar, mengikuti kompetensi untuk mendapatkan sarana produksi secara terbuka, dan berusaha mencipakan alfternatif lain untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, terdapat dalam negara yang sudah maju. Mayoritas matapencaharian masyarakat di daerah Rembang adalah petani yang lebih cenderung pada petani peasant. Menurut Scott, kehidupan petani merupakan masyarakat yang harmoni dan stabil. Petani memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan keterikatan antar individunya dan lebih mengutamakan selamat. Petani di daerah Rembang kebanyakan tidak berorientasi pada pasar, namun didasarkan atas etika subsistensi dan resiprositas. Mereka tidak menjual hasil panennya, tetapi hasil panen tersebut disimpan atau ditimbun untuk kebutuhan hidup sehari – hari. Mereka tidak memperhitungkan untung dan rugi tapi yang lebih di prioritaskan adalah kelangsungan hidupnya. Apabila petani peasant megalami suatu keadaan yang menurut mereka dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadaikan harta benda yang dimilikinya, seperti ternak, sekian petak sawah yang mereka punya. Untuk mencukupi kebutuhan para petani biasanya menggunakan sistem tumpang sari, tanaman yang ditanam misalnya menanam jagung sebelum tanaman padi dipanen. Seiring berkembangnya zaman, para peasant sebenarnya ingin mendapatkan akses ke pasar apabila ada kesempatan. Bahkan sekarang sebagian kecil peasant di daerah Rembang mulai mengacu pada komersialisasi dimana mereka sekarang tidak hanya mencukupi kebutuhan saja namun sudah mulai memaksimalkan keuntungan.¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬¬, sifatnya sudah mulai seperti pedagang. Teori james scott masih bisa digunakan pada petani peasant di daerah Rembang. Namun tidak menutup kemungkinan suatu petani untuk mengalami transformasi atau pergeseran moral ekonomi. Sedangkan resiprositas muncul ketika sebagian dari anggota masyarakat menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat lain. Yang lebih ditekankan adalah hubungan timbal balik antara keduanya yang menguntungkan. Dapat pula dikatakan sebagai kewajiban untuk membalas budi kepada seseorang. Hal ini sebanding dengan apa yang terjadi di daerah Rembang, dimana suatu prinsip moral balas budi dijadikan motif saling menguntungkan antara penggarap tanah dan tuan tanah. Ketika penggarap tanah mengadakan syukuran otomatis tuan tanah mempunyai kewajiban moral untuk memberi uang atau orang jawa bilang ‘sumbangan’ dapat berupa uang maupun bahan – bahan pokok. Bahkan moral balas budi dapat menaikkan status sosial seseorang, ketika si tuan tanah ingin mencalonkan diri menjadi kepala desa maka si penggarap tanah mempunyai kewajiban moral untuk membalas budi si tuan tanah tersebut dengan mendukungnya untuk menunjukkan loyalitasnya. Menurut James Scott, dari sudut pandang moral ekonomi petani, subsistensi merupakan hak atau tuntutan moral, bahwa petani merupakan kaum miskin mempunyai hak sosial atas subsistensi. Untuk itu setiap tuntutan terhadap petani pada kaum elite desa dan negara tidaklah adil bila melanggar subsistensi mereka. Transformasi tanah yang mulai dijual telah memunculkan efek kontrol terhadap tanah terlepas dari tanggung jawab desa. Secara tidak langsung petani akan kehilangan hak – hak kebebasan petani, nilai – nilai yang dihasilkan diukur berdasarkan naik turunnya harga pasar. Tidak menutup kemungkinan terjadi suatu pengeksploitasian kaum elite desa kepada petani karena mereka mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi sehingga mereka membayarnya dengan rendah. Bahkan negara juga melakukan pengeksploitasian terhadap petani dengan cara menghitung dan mensurvei para petani dan tanah yang bertujuan sebagai penarikan pajak. Faktanya petani sering dirugikan karena saat musim tidak baik pemerintah menarik pajak berdasarkan penarikan pajak tetap. James Scott meletakkan dasar stratifikasi social masyarakat petani atas tingkat keamanan subsistensi mereka, bukan pada penghasilan mereka. Lapisan kaum petani dibagi Scott menjadi tiga kelas. Yang pertama pemilik lahan kecil memiliki subsistensi yang lebih terjamin. Meskipun hanya memiliki sedikit lahan mereka lebih terjamin karena masih bisa mengandalkan tanah tersebut untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang kedua yaitu lapisan petani penyewa ( klien ) yang masih mempunyai tuan tanah ( patron ) sebagai pelindung mereka. Tuan tanah biasanya menyewakan sawahnya karena dia tidak mampu mengerjakan sawahnya, sehingga penyewa berhak mendapat perlindungan dari tuan tanah. Yang ketiga adalah lapisan buruh tani yang tidak mendapatkan perlindungan dari siapun, posisi buruh tani sangat rawan sekali terhadap goncangan krisis subsistensi. Hal ini disebabkan buruh tani tidak memiliki lahan pertanian dan tidak memiliki patron sebagai pelindung. Berdasarkan konsep pembagian kelas diatas, petani di daerah Rembang yang mengalami sedikit pergeseran moral ekonomi. Sebuah kasus dimana sebagian petani yang menempatkan hubungan antara patron dan klien yang terjadi bukan atas dasar melindungi yang lemah tetapi merupakan suatu hubungan eksploitasi untuk mendapatkan sumber daya yang murah. Terlihat ketika mereka diberi kesempatan untuk mencari butir – butir padi yang tersisa istilah jawanya ‘ ngasak ‘ agar mereka tidak meminta bayaran sebagai tenaga kerja permanen. Namun adapula patron yang mempunyai rasa belas kasihan sehingga klien tersebut diberi padi dalam topi atau caping yang mereka gunakan. Dari lapisan social tersebut Scott berpendapat bahwa sistem bagi hasil lebih disukai petani dibandingkan dengan sistem sewa tanah. Scott menganggap bahwa sistem bagi hasil sama rata pada masyarakat petani disebabkan karena pemilik tanah tidak rela petani menjual panennya dipasar. Sistem bagi hasil dianggap lebih menguntungkan karena jumlah panen dibagi menjadi dua dan musim juga tidak berpengaruh. Sedangkan system sewa tanah dianggap beresiko karena keadaan hasil panen baik atau buruk tidak berpengaruh dalam pembayaran sewa. Yang terjadi pada daerah Rembang, Sebuah kelompok petani kenceng dan petani unggul, mereka memiliki tanah yang lebih luas dan menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan uang atau sistem bagi hasil. Yang sering dikenal dalam sistem bagi hasil diantaranya maro dimana orang mengerjakan atau menggarap separuh tanahnya kemudian hasil dibagi bardua, mertelu itu mengerjakan sepertiga tanah dan membagi hasil menjadi sepertiga bagian, mrapat system bagi hasil yang membagi hasil menjadi seperempat bagian dengan mengerjakan seperempat tanah, dan sistem tegalan ( marolima ) Pemilik lahan meneriman dua perlima, sedangkan penggarap yang menanggung ongkosnya tiga per lima. Sistem bagi hasil memberikan kerugian yang tidak hanya berdampak pada landasan eksistensi mayoritas penduduk yang sangat tidak mencukupi, namun juga suatu system yang mempertahankan kemiskinan. Dalam kehidupan sekarang sistem yang lebih sering digunakan petani adalah sewa tanah, khususnya petani di daerah Rembang. Petani lebih suka dengan sewa tanah karena sistem ini tidak terlalu ribet dan cukup sederhana, dibandingkan sistem bagi hasil yang lebih sulit dalam pembagiannya selain itu juga merugikan. Pertumbuhan negara kolonial dan komersialisasi pertanian menyebabkan petani masuk dalam ekonomi dunia, sehingga menjadi dilema perubahan ekonomi baru yang mengancam subsistensi kaum petani. Hal ini disebabkan oleh lima cara diantaranya : a. Ketidakstabilan yang bersumber pada pasar Masyarakat petani tidak hanya berlingkup pada pasar lokal namun sudah pasar dunia. Naik turunnya harga terlepas dari naik turunnya harga, menyebabkan hasila panen yang kecil menghasilkan harga per unit juga kecil, begitu pula dengan hasil panen yang besar. b. Perlindungan desa yang semakin lemah Pemberian perlindungan kepada kelompok kerabat dan nilai desa mengalami perubahan, karena perubahan struktural yang berupa berkurangnya sumber daya secara komunal. Hokum positif kolonial digunakan sebagai pengganti tradisi atau hukum yang telah turun temurun. c. Hilangnya sumber – sumber daya subsistensi sekunder Tanah yang dulunya milik umum ( komunal ) menjadi sesuatu yang komersial dan seseorang yang memanfaatkannya dikenai sebuah pajak. Selain itu, kerajinan yang dibuat dalam waktu luang sudah tidak dapat membantu subsistensi petani karena harganya murah yang disebabkan oleh masuknya produk komersial. d. Buruknya hubungan – hubungan kelas agraris Perubahan sikap tuan tanah yang bukan lagi sebagai pelindung saat masa sulit tapi menjadi tukang kutip sewa tetap, bukan hanya dilakukan pada masa baik tetapi pada masa buruk juga. e. Negara kolonial yang semakin ekstensif dan intensif dalam memungut pajak Penarikan pajak mulai diperluas pada aktivitas yang berkaitn dengan subsistensi seperti pajak perahu, garam dan lain – lain. Petani jua tidak dapat menolak untuk membayar pajak. Yang berperan dalam penarikan pajak ini adalah negara. Penarikan pajak yang dipungut oleh negara dianggap terlalu memberatkan petani, sehingga petani tidak dapat mempertahankan lagi subsistensinya. Proses eksploitasi terhadap petani tersebut melahirkan suatu resistensi atau perlawanan. Sebenarnya petani tidak hanya sebagai masyarakat yang lemah dan dan pasrah saja, pada dasarnya mereka juga mempunyai pandangan kedepan untuk mendapatkan kehidupan yang selayaknya. Petani mereka melakukan suatu resistensi atau perlawanan untuk mempertahankan hidup. Perjuangan yang dilakukan petani merupakan perjaungan yang biasa – biasa saja namun hal ini dilakukan secara terus menerus. Misalnya pemberian nama ejekan, ngutil, berbohong sabotase bahkan karena terhimpit oleh kondisi ekonomi akan melakukanhal nekat seperti bunuh diri. Berdasarkan kondisi peasant di daerah Rembang, petani juga mampu melakukan perbaikan terhadap nilai-nilai tradisional. Para peasant juga mulai menstransformasi atau menggantikan elemen-elemen lokal dan tatanan kultural, untuk mendapat kesempatan-kesempatan baru terhadap penawaran kapitalisme dan pasar.