Minggu, 01 Juli 2012

analisis dari teori durkheim

EMILE DURKHEIM A. BIOGRAFI EMILE DURKHEIM Emile Dhurkheim lahir pada tanggal 15 April 1858 di Epinal, provinsi Lorraine di perancis Timur.Durkheim dibesarkan dalam keluarga komunitas Yahudi ortodoks, namun pada penitian karirnya beliau lebih condong pada bidang intelektualnya dari pada bidang religious.Ia tidak hanya kecewa dengan ajaran agama, namun ada pendidikan umum dan penekanannya pada soal-soal literer dan estetis. Dia mendabakan bisa mempelajari metode-metode ilmiah dan prinsip-prinsip moral yang bisa memandu kehidupan sosial. Hasratnya terhadap ilmu pengetahuan semakin bertambah ketika ia melakukan perjalanan ke Jerman, disana ia mulai mengenal psikologi ilmiah. Setelah perjalanannya ke Jerman ia mulai menerbitkan karyanya yang menggambarkan pengalamannya di Jerman. Publikasi inilah yang membuatnya memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeauk pada 1887. Pada tahun 1893 Durkhrim mulai menerbitkan tesis doktoralnya dalam bahasa Prancis yang berjudul The Division of Labor in Society dan tesisnya dalam bahasa latin tentang Montesqueiu.selain itu juga mengeluarkan pernyataan metodologis dalam The Rules of Sociological Mehtode yang terbit pada tahun 1895 kemudian diikuti dengan penerapan metode-metodenya dalam studi empiris pada buku Suicide. Pada tahun 1896 ia menjadi profesor di Bordeaux kemudian pada tahun 1902, ia diundang oleh Universitan Sorbone dan pada tahun 1906 menjadi profesor resmi untuk ilmu pendidikan. Pada tahun 1913 jabatannya menjadi profesor ilmu pendidikan dan sosiologi.Karyanya yang terkenal diantaranya adalah The Elementary Forms of Religious Life yang terbit pada 1912. Dalam perjalanan hidupnya Durkheim dianggap sebagai orang yang liberal, ini tercermin ketika ia secara aktif berperan dalam membela Alfred Dreyfus, kapten keturunan Yahudi yang difonis mati karena penghinaan terhadap Tuhan yang dirasakan banyak orang sebagai antisemit. Inilah mengapa ia mulai keluar dari agama karena melihat fenomena tersebut. Jadi, minat Durkheim pada kasus Dreyfus lahir dari minatnya yang begitu dalam terhadap moralitas dan krisis moral yang dihadapi masyarakat modern. Minat Durkheim pada sosialisme juga dijadikan bukti untuk melawan gagasan bahwa ia adalah seorang konservatif namun sosialisme ini berbeda dengan yang menjadi minat Marx dan pengikutnya. Durkheim menganggap marxisme sebagai serangkaian hipotesis yang dapat diperdebatkan dan ketinggalan zaman.bagi Durkheim sosialisme menunjukkan suatu gerakan yang ditujukan bagi regenerasi moral masyarakat melalui moralitas ilmiah. Durkheim memberi perkembangan yang besar bagi sosiologi dan bagi bidang lainnya seperti antropologi, sejarah, linguistik, dan psikologi sebagaimana yang tercantum dalam jurnal L’annee Sociologique. Durkheim meninggal pada tanggal 15 Nopember 1917 sebagai sosok yang disegani oleh kalangan intelektual Prancis ketika dua puluh tahun kemudian Talcot Parsonsn menerbitkan buku yang berjudul The Structure of Social Action(karya Durkheim). B. TEORI-TEORI EMILE DURKHEIM 1. FAKTA SOSIAL (The Rule Of Sociological Method) Menurut Durkeim fakta sosial adalah benda artinya gejala sosial adalah riil secara obyektif, dengan satu eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu. a. Kenyataan Fakta Sosial Asumsi yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi adalah bahwa gejala social itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis atau karakteristik individu lainnya. Banyak yang tertarik dalam mengembangkan suatu penjelasan naturalistic atau ilmiah tentang perilaku manusia dan juga mengenai institsi social, mendasarkan analisanya pada karakteristik individu. b. Fakta Sosial Lawan Fakta Individu Menurut Durkheim fakta social itu tidak dapat direduksikan ke fakta individu melainkan memiliki eksistensi yang independen pada tingkat social.Durkheim hidup di bawah pengaruh positivisme, ilmu dilihat sebagai suatu yang berhubungan dengan gejala yang riil (factual).Tanpa obyek riil sebagai pokok permasalahannya, suatu ilmu tentang masyarakat tidaklah mungkin ada. Dalam karir awal Durkheim ( The Rules of Sociological Method) dijelaskan bahwa gejala social itu adalah benda. Artinya, gejala social adalah riil secara obyektif dengan satu eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis individu. c. Karakteristik Fakta Sosial • Bersifat eksternal terhadap individu Meskipun banyak dari fakta sosial ini akhirnya diendapkan oleh individu melalui proses sosialisasi, individu itu sejak awalnya mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan eksternal, • Memaksa individu Individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Namun, bukan berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Kalau proses sosialisasi itu berhasil, individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu. • Bersifat umum atau menyebar luas dalam suatu masyarakat. fakta sosial ini merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan. 2. TEORI EMILE DURKHEIM DALAM KONSEP PEMBAGIAN KERJA DI MASYARAKAT DAN IMPLIKASINYA PADA TINGKAT INTEGRASI DAN SOLIDARITAS Pembagian kerja menurut Emile Durkheim tidak sama dengan Adam Smith yang semata-mata digunakan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi untuk menciptakan kehidupan sosial yang terintegrasi tidak slalu tergantung pada homogenitas. Adanya konsep tersebut menyoroti masyarakat tradisional yang kebayakan pekerjaannya dilakukan oleh satu individu. Misalnya untuk menanam padi, petani mengolah tanah, menanam benih padi, memanen, menjemur gabah, menumbuk gabah menjadi beras, bahkan menjualnya dilakukannya sendiri. Karakteristik pembagian kerja hanya pada jenis kelamin.Seorang perempuan jenis pekerjaan yang dilakukan berbeda dengan laki-laki. Pada masyarakat tradisional tersebut kesadaran kolektif tinggi, rasa kekeluargaan erat. Hukum yang berlaku sangat kaku dan bersifat memaksa (solidaritas mekanik). Bagi Durkheim, dengan pemabagian kerja maka mampu meningkat solidaritas masyarakat yang akhirnya menciptakan sebuah integrasi dalam heterogenitas. Misalnya, menanam padi ada yang dipekerjakan untuk mengolah tanah, menanam benih padi, memanen, dsb. Proses tersebut harapannya tingkat keterkaitan antar satu individu dengan individu yang lain lebih erat (ketergantungan yang menciptakan integrasi, solidaritas kuat). Namun, pada masyarakat modern yang mempuyai pembagian kerja tinggi ternyata menampilkan individualitas tinggi, hukum restitutif, ketergantungan yang tinggi mengacu pada konflik, kesadaran kolektif lemah, bersifat industrial perkotaan (solidaritas organik). Pembagian kerja menrut Durkheim adalah fakta sosial material karena merupakan bagian dari interaksi dalam dunia sosial. Persoalan paling kontroversial dalam pendapat durkheim adalah sosiolog mampu membedakan antara masyarakat sehat dan masyarakat patologi. Namun ada sesuatu yang menarik yang dalam argumen tersebut, yaitu menurut Durkheim kriminal adalah sesuatu yang normal dalam patologi. Dalam “Division of Labour” Durkheim menggunakan ide patologis untuk mengkritik bentuk “ abnormal” yang ada dalam pembagian kerja masyarakat modern. Pembagian kerja tersebut adalah: a. Pembagian kerja anomik, yaitu tidak adanya regulasi dalam masyarakat yang menghargai individualitas yang terisolasi dan tidak mau memberi tahu masyarakat tentang apa yang harus mereka kerjakan. b. Pembagian kerja yang dipaksakan, yaitu aturan yang dapat menimbulkan konflik dan isolasi serta yang akan meningkatkan anomi. Hal ini menunjuk pada norma yang ketinggalan jaman dan harapan-harapan individu, kelompok, dan kelas masuk ke dalam posisi yang tidak sesuai bagi mereka. c. Pembagian kerja yang terkoordinasi dengan buruk, disini Durkheim kembali menyatakan bahwa solidaritas organis berasal dari saling ketergantungan antarmereka. Pemikiran sosiologis Emile Dhurkheim mengenai pembagian kerja dalam masyarakat dianalisis melalui solidaritas sosial.Tujuan analisis tersebut menjelaskan pengaruh (atau fungsi) kompleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas. Mislanya, dalam perusahaan memperlihatkan semangat kerja yang tinggi, tetapi nilai dan norma tidak dapat mengontrol perilaku dengan cermat dan tegas apabila diferensiasi dan spesialisasinya rendah. Saling ketergantungan yang muncul dari deferensiasi dan spesialisasi secara relatif menjadi lebih penting sebagai suatu dasar solidaritas daripada nilai dan norma. Solidaritas sosial menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Analisa Durkheim mengenai solidaritas sosial dasajikan menurut: 1) perbedaan-perbedaan dalam tipe solidaritas sosial, 2) ancaman-ancaman terhadap solidaritas dan tanggapan masyarakat terhadap ancaman ini, 3) munculnya penegasan atau penguatan solidaritas lewat ritus-ritus agama. a. Solidaritas Mekanaik dan Organis Sumber analisa Durkheim mengenai pembedaan tersebut yaitu didasarkan pada bukunya yang berjudul The Division of Labour in Society.Tujuan karya ini adalah untuk menganalisa pengaruh kompleksitisitas dan spesialisasi pembagiankerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. (Johnson: 1981) Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu keadaan kolektif, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata ada pada suatu masyarakat yang sama. Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah solidaritas tersebut didasarkan atas homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dsb.Homogenitas tersebut bisa terjadi apabila pembegian kerja sangat minim. Solidaritas organik muncul akibat adanaya pembagian kerja yang tinggi yang didasarkan atas rasa saling ketergantungan.Munculnya perbedaan-perbedaan di tingkat individu merombak adanya kesadaran kolektif yang dirasa kurang penting sebagai dasar keteraturan sosial terganti oleh spesialisasi kerja yang lebih otonom.Durkheim mengatakan bahwa kuatnya solidaritas organis didasarkan pada hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) daripada hukum represif. b. Kesadaran Kolektif dalam Masyarakar Organik Pertumbuhan dalam pembagian kerja (solidaritas organis sebagai hasilnya) tidak menyebabkan hilangnya kesadaran kolektif hanya saja mengurangi arti penting dari kesadaran kolektif tersebut.Hanya saja kesadaran ini menjadi semakin meliputi cara-cara berfikir dan berperasaan yang sangat umum dan tidak tentu, dengan semakin bertambahnya perbedaan-perbedaan dalam individu. c. Evolusi Sosial Kesadaran kolektif yang mendasari solidaritas mekanik paling kuat berkembang pada masyarakat primitif.Kerena pembagian kerja semakin meluas, kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang. Tetapi heterogenitas yang semakin bertambah ini tidak menghancurkan solidaritas sosial, sebaliknya semakin membuat individu atau kelompok saling ketergantungan satu sama lain. Meningkatnya secara bertahap saling ketergantunngan fungsional dalam berbagai bagian dalam masyarakat ini memberikan alternatif baru untukkesadaran kolektif sebagai solidaritas sosial. Solidaritas Mekanik Solidaritas Organis Pembagian kerja rendah Kesadaran kolektif kuat Hukum represif domian Individualitas rendah Konsesus terhadap pola-pola normatif itu penting Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang Secara realtif ketergantungan itu rendah Bersifat primtif atau pedesaan Pembagian kerja tinggi Kesadaran kolektif lemah Hukum restitutif dominan Individualitas tinggi Konsensus terhadap nilai-nilai abstrak dan umum itu penting Badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimang Saling ketergantunga tinggi Bersifat industrial atau perkotaan 3. TEORI BUNUH DIRI Durkheim memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena konkrit dan spesifik, di mana tersedia data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin Sosiologi.Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa. Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Durkheim memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam masyarakat: • Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama Dari data yang dikumpulan Durkheim menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut kepada para penganutnya. • Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga Dari penelitian Durkheim disimpulkan bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut. • Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik Dari data yang dikumpulkan, Durkheim menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat sipil. Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik. Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:  Bunuh Diri Egoistis Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.  Bunuh Diri Altruistis Terjadi ketika integrasi sosial yang sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. contoh lain bunuh diri di Jepang (Harakiri). Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.  Bunuh Diri Anomic Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan. Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitubahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.  Bunuh Diri Fatalistis Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan. 4. AGAMA MENURUT EMILE DURKHEIM Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan dan berkaitan dengan hal-hal yang kudus, kepercayaan-kepercayaan, dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu "sifat kudus" dari agama dan "praktek-praktek ritual" dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia tidak akan lagi menjadi sebuah agama, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini dapat kita lihat bahwa sesuatu disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tadi. Kita juga akan melihat bahwa menurut Durkheim agama selalu memiliki hubungan dengan masyarakatnya, dan memiliki sifat yang historis. Hubungan antara agama dengan masyarakat terlihat di dalam masalah ritual. Kesatuan masyarakat pada masyarakat tradisional itu sangat tergantung kepada conscience collective (hati nurani kolektif), dan agama nampak memainkan peran ini.Masyarakat menjadi "masyarakat" karena fakta bahwa para anggotanya taat kepada kepercayaan dan pendapat bersama. Ritual, yang terwujud dalam pengumpulan orang dalam upacara keagamaan, menekankan lagi kepercayaan mereka atas orde moral yang ada, di atas mana solidaritas mekanis itu bergantung. Di sini agama nampak sebagai alat integrasi masyarakat, dan praktek ritual secara terus menerus menekankan ketaatan manusia terhadap agama, yang dengan begitu turut serta di dalam memainkan fungsi penguatan solidaritas. Agama juga memiliki sifatnya yang historis. Menurut Durkheim totemisme adalah agama yang paling tua yang di kemudian menjadi sumber dari bentuk-bentuk agama lainnya. Seperti konsep kekuatan kekudusan pada totem itu juga yang di kemudian hari berkembang menjadi konsep dewa-dewa, dsb. Kemudian perubahan-perubahan sosial di masyarakat juga dapat merubah bentuk-bentuk gagasan di dalam sistem-sistem kepercayaan. Ini terlihat dalam transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, dimana diikuti perubahan dari "agama" ke moralitas rasional individual, yang memiliki ciri-ciri dan memainkan peran yang sama seperti agama. Durkheim mengulas arti penting dari agama dalam masyarakat. Dan mengenalnya sebagai sumber orisinil dari semua gagasan moral, filsafat, ilmu pengetahuan,dan keadilan. Durkheim secara konsisten mendukung kesimpulan yang telah diambil pada titik dini dari kariernya, bahwa baik orang orang yang mempertahankan teori teori ekonomi lama keliru dalam berpikir bahwa sekarang tidak perlu ada pengaturan .Dan bahwa pembela lembaga lembaga keagamaan salah dalam mempercayai bahwa pengaturan waktu yang lalu dapat berguna bagi masa sekarang. Arti penting agama yang mulai menurun dalam masyarakat – masyarakat kontemporer, merupakan akibat yang tidak bisa dielakkan dari arti pentingnya solidaritas mekanis yang makin menurun. Dengan demikian, segi penting yang kita kaitkan dengan sosiologi agama, sedikitpun tidak mempunyai implikasi bahwa agama itu harus memainkan peran yang sama dalam masyarakat-masyarakat sekarang. Seperti yang dimainkannya pada waktu waktu lain. Dalam suatu segi, kesimpulan yang bertentangan akan lebih sehat. Mengingat agama adalah suatu fenomena kuno, maka agama makin lama makin harus mengalah kepada bentuk bentuk sosial baru,yang telah dilahirkannya. Baru setelah tahun 1895, Durkheim mengakui bahwa dia sepenuhnya menyadari tentang arti penting pada agama sebagai suatu fenomena sosial. Menurut kesaksiannya sendiri, kesadaran tentang adanya arti penting agama, yang sebagian besar nampaknya merupakan hasil dari usahanya membaca karya karya para ahli antropologis Inggris, menyebabkan dia untuk menilai kembali tulisan-tulisannya yang terdahulu untuk menarik implikasi-implikasi dari pengertian pengertian yang baru ini. Tafsiran konfensional dari hal ini, ialah bahwa Durkheim bergeser dari posisi yang relative “materialistik” yang dianggap telah ia pegang dalam The Division of Labour, kearah suatu pendirian yang lebih dekat kepada “idealism”. Akan tetapi ini menyesatkan kalau sama sekali tidak salah, dan merupakan salah tafsir tentang pandangan pandangan Durkheim, yang sebagian berasal dari kecenderungan yang sering timbul pada para penulis sekunder untuk menggabungkan analisis fungsional dengan analisis historis dari Durkheim melalui cara yang sebenarnya pada kenyataannya asing bagi pemikiran Durkheim sendiri. C. KASUS TENTANG PEMBAGIAN KERJA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INTEGRASI DAN SOLIDARITAS SOSIAL KASUS BANK CENTURY JAKARTA, KOMPAS Bank Century adalah kasus besar yang tidak boleh di tenggelamkan dan di alihkan oleh kasus-kasus pemberantasan korupsi lainnya. Kasus tersebut harus tetap menjadi prioritas utama bagi KPK untuk segera di tuntaskan,”tutur Misbakhun, Senin (21/5/2012) di Jakarta. Menurut Misbakhun, polisi dan kejaksaan tidak bisa diharapkan terlalu banyak dalam menangani penegakan hukum kasus Bank Century. Sebab, pihak-pihak yang diduga terlibat dalam kasus Bank Century adalah figur-figur penting yang masih duduk di dalam pemerintahan sekarang ini. "Di antaranya mantan Gubernur BI yang kini Wakil Presiden RI," ujar Misbakhun. Kasus Bank Century, yang kini telah berganti nama menjadi Mutiara, menyita perhatian banyak elemen masyarakat. Lakon para legislator/Dewan Perwakilan Rakyat/DPR dalam upaya pembongkaran kasus Bank Century, disimak secara luas oleh masyarakat melalui pemberitaan berbagai mediamassa, baik cetak meupun elektronik. Bahkan masyarakat sendiri dapat melihat jalannya persidangan Pansus Hak Angket Bank Century melalui program Breaking News yang di siarkan secara langsung (Live Streaming) oleh beberapa televisi swasta. Pemerintah (Depkeu) dan Bank Indonesia (BI) yang sementara ini dituduh sebagai pihak-pihak yang paling bertanggung jawabatas pengucuran dan talangan (bailout) kepada Bank Century yang di nilai telah merugikan negara sekitar Rp 6,76 Triliun melakukan pembelaan diri, seolah tidak ada yang keliru dengan mekanisme dan keputusan yang telah di ambilnya. Para politisi diluar parlemen saling adu argumen. Disatu pihak partai politik tertentu mempertanyakan komitmen partai lain atas koalisi yang telah mereka bangun bersama, sedangkan dipihak lain partai yang ditiduh “berhianat” membela dirinya atas nama kebenaran dan keberpihakan kepada rakyat. Rakyat yang tidak puas dengan kinerja parlemen dan pemerintah melakukan unjuk rasa di mana-mana menuntut tegaknya kebenaran dan keadilan. D. ANALISIS DARI KASUS BANK CENTURY KE DALAM TEORI PEMBAGIAN KERJA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INTEGRASI DAN SOLIDARITAS SOSIAL Dari kasus Bank Century di atas dapat di analisis dari kacamata Emile Durkheim (1858-1918), khususnya mengenai pandangan integrasi sosial. Bagi Durkheim, integrasi masyarakat (kohesi sosial) dimungkinkan karena ada nilai bersama yang di pegang masyarakat bersangkutan dalam aktivitas sehari-hari. Nilai tersebut di anggap sebagai sesuatu yang berasal dari realitas transenden yang sangat di junjung tinggi, yang dalam dunia real mewujud di dalam totem (arca, simbol, lambang) yang diyakini mengandung kekuatan magis tertentu. Nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat primitif, dipositifkan dan dijadikan sebagai konsensus bersama oleh masyakat modern yang terintegrasi di dalam sebuah negara modern. Dalam kacamata Durkheim, unjuk rasa yang menuntut penyelesaian kasus Bank Century tidak lain merupakan bentuk ketidaksukaan masyarakat karena konsensus yang dijunjung tinggi dinodai oleh pihak-pihak tertentu. Kasus Bank Century adalah skandal besar yang menyita perhatian banyak pihak. Ketidakpercayaan publik terhadap kinerja lembaga negara, khususnya pemerintah dan legislatif, menimbulkan keributan yang menjelma dalam bentuk unjuk rasa atau demonstrasi yang digelar diberbagai pelosok tanah air. Permasalahan ini adalah juga permasalahan sosiologis yang dapat dicarikan akar masalahnya dengan pendekatan sosiologis, sekalipun belum sepenuhnya memberikan jawaban yang memuaskan. Kasus Bank Century dalam Teori Integrasi Sosial Emile Durkheim teori integrasi sosial (kohesi sosial) yang dipaparkan Emile Durkheim masih kontekstual dengan kehidupan berbangsa dan bernegara diIndonesia. Tanpa bermaksud meremehkan negara Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia masih mempraktekkan pengkultusan simbol-simbol keagamaan yang disebut Durkheim sebagai “totem”. Tentu saja pengkultusan ini sedikit banyak telah dibumbui dengan cita rasa modernitas, misalnya tempat ibadah yang megah dan sikap kritis terhadap nilai-nilai keagamaan. Kendatipun demikian, nilai-nilai agama masih kuat dipertahankan, seolah-olah kesadaran kolektif masyarakat melekat pada agama. Bayangkan saja, setiap pejabat yang akan bertugas, diminta mengucapkan sumpah di hadapan Tuhan. Dengan demikian, mencederai konsensus sama saja dengan mencederai nilai-nilai yang dijunjung tinggi sebagai yang berasal dari realitas transendens sebagai sumber moralitas. Kasus Century tidak lain merupakan suatu bentuk kekonyolan. Tindakan penggelontoran modal yang disinyalir tidak berkekuatan hukum sama saja dengan tindakan perampokan (seperti yang dikatakan Yusuf Kalla). Dalam hal ini, individualisme kian berkembang di dalam diri orang atau sekelompok orang tertentu, sehingga kesadaran kolektifnya tergerus, sampai pada akhirnya menyebabkannya mengambil tindakan yang tidak selaras dengan konsensus bersama (dalam masyarakat modern disebut sebagai konstitusi dan turunannya). Orang atau sekelompok orang ini, dalam perspekstif Durkheim terhadap kehidupan masyarakat tradisional, pantas dihukum karena bertentangan dengan otoritas moral. Atau jika ditarik kepada masyarakat modern, orang atau sekelompok orang tersebut pantas dihukum karena sudah ada sanksi yang disiapkan untuk hal tersebut. Persoalannya: apakah hukum yang ada dapat menjamin bahwa orang-orangyang melanggar konsensus bersama tersebut dapat ditangkap, di adili, dan dijatuhi hukuman yang pantas? Hiruk pikuk kasus Bank Century terkait perdebatan mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Muncul pertanyaan: hukum “siapa” yang harus diikuti, ketika semua penegak hukum, wakil rakyat, dan pemerintah yang saling berseteru menganggap dirinya sebagai pihak yang benar? Masyarakat seolah-olah sudah masuk dalam situasi tanpa norma (anomi), sehingga demonstasi atau unjuk rasa yang terjadi di mana-mana dapat dimaklumi. Dapat diambil kesimpulan bahwa, Tema besar kasus Bank Century adalah korupsi. Kemunculannya setelah kasus yang disebut sebagai kriminalisasi petinggi KPK, membuat orang bertanya-tanya. Masyarakat menilai ada yang salah dengan kinerja petingginya. Ada unsur ketidaksetiaan para petinggi negara kepada konsensus bersama yang tidak lain merupakan nilai yang diperoleh dari realitas transendens, yang disebut dengan nama “Tuhan” oleh masyarakat modern. Fenomena ini harus segera diatasi. Siapa pun pihak yang terbukti bersalah dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus Bank Century, harus segera diproses, diadili, dan dijatuhi hukuman yang wajar. Jika pihak tersebut masih aktif bekerja di pemerintahan, sebaiknya dinon-aktifkan. KPK dan PPATK harus didorong untuk menuntaskan kasus ini. Keterlibatan polisi didalam kasus ini harus ditolak karena mengandung konflik kepentingan. Keterlibatannya sudah sepantasnya ditolak, mengingat kasus BLBI yang nyatanya kandas di tengah jalan ketika ada ditangan polisi, jaksa, dan hakim. DAFTAR PUSTAKA • Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi Klasik, Jakarta: PT. Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar